NEW POST

Dialog Antarmazhab : Ilmu Pengetahuan sebagai Titik Temu


Bukankah Islam datang sebagai cahaya yang menyatukan, bukan sebagai api yang membakar dalam perbedaan ? Bukankah agama ini diturunkan bukan untuk melahirkan sekat-sekat, tetapi untuk meruntuhkan tembok yang memisahkan manusia dari kebenaran ? Lalu mengapa, justru atas nama Islam, kita sering membangun jurang yang dalam di antara sesama ? Mengapa perbedaan mazhab, yang sejatinya adalah anugerah ijtihad, berubah menjadi senjata permusuhan ? Apakah kita lupa bahwa para pendiri mazhab tidak pernah bermimpi umat ini akan saling menyalahkan karena mereka ? Sejak awal, Al-Qur’an sudah meletakkan fondasi yang kokoh untuk sebuah umat yang bersatu, bukan tercerai. Dengarlah seruan Allah dalam firman-Nya :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (QS. Āli ʿImrān: 103)

Apa makna perintah ini jika bukan ajakan untuk melebur dalam satu ikatan ilahi—bukan dalam keseragaman pendapat, tetapi dalam kesatuan visi dan akhlak ? Tali Allah tidak mengharuskan kita berpikir sama, tetapi mengharuskan kita tetap satu meski berpikir berbeda. Dan ketika perbedaan itu datang, Al-Qur’an tidak menyuruh kita panik. Tidak menyuruh kita saling menghakimi. Justru Allah mengingatkan :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu; tetapi mereka senantiasa berselisih." (QS. Hūd: 118)

Apakah ayat ini tidak cukup menjadi penawar bagi jiwa-jiwa yang gundah melihat perbedaan ? Apakah tidak jelas bahwa Allah sendiri memberi ruang bagi keragaman, selama ia tidak keluar dari jalur kebenaran ? Lantas, siapa kita hingga merasa berhak memonopoli kebenaran, seolah seluruh warisan keilmuan Islam hanya ada di genggaman mazhab kita saja ? Para imam besar seperti Abu Ḥanīfah, Mālik, al-Shāfi’ī, dan Aḥmad bin Ḥanbal—mereka berbeda, namun mereka saling menghormati. Mereka saling menulis, saling membantah, tetapi tidak saling memusuhi. Karena mereka tahu, perbedaan dalam kerangka ilmu adalah tanda kehidupan intelektual, bukan kelemahan iman.Bukankah Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda :

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

"Perbedaan di antara umatku adalah rahmat." (HR. al-Baihaqī dalam al-Madkhal ilā al-Sunan al-Kubrā)

Jika perbedaan adalah rahmat, mengapa kita menolaknya seperti bencana ? Jika keragaman pandangan adalah bagian dari keluasan syariat, mengapa kita memperlakukannya seperti kesesatan ? Sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri :

Apakah kita benar-benar ingin membela Islam ? Ataukah kita hanya sedang membela ego ? Apakah kita masih sanggup berdiri dalam majelis ilmu yang terbuka, atau hanya nyaman dalam lingkaran kecil yang seragam ?

Ilmu pengetahuan tidak memihak mazhab mana pun. Ia berpihak kepada yang jujur mencari. Ia berpihak kepada siapa saja yang mau duduk, membaca, mendengarkan, lalu berpikir dengan adab. Ilmu membuka mata kita bahwa tak ada satu jalan tunggal dalam memahami wahyu, selama jalur itu dibangun di atas dalil dan disiplin.

Di banyak tempat hari ini, mulai muncul generasi baru yang tidak lagi ingin bertikai karena mazhab, tetapi ingin belajar dari semuanya. Mereka duduk di ruang-ruang kuliah, membedah perbandingan pendapat, bukan untuk menentukan siapa yang menang, tapi untuk memahami mengapa para ulama bisa berbeda. Mereka tak menutup mata terhadap pendapat lain—karena mereka tahu, luasnya ilmu lebih agung daripada sempitnya fanatisme.

Dan justru di sinilah titik temunya: ilmu pengetahuanIa adalah jalan tengah antara fanatisme dan relativisme. Ia tidak menuntut kita menjadi satu dalam pandangan, tetapi menjadi satu dalam komitmen mencari kebenaran. Ilmu tidak menghapus mazhab, tapi mempertemukan mereka dalam dialog yang saling menghargai. Jadi, apakah kita masih akan terus terjebak dalam siklus debat tanpa ujung ? Atau kita mulai membangun jembatan dari kitab ke kitab, dari pendapat ke pendapat, dari hati ke hati ? Umat ini terlalu agung untuk dipecah oleh ego yang sempit.

Dan Islam terlalu mulia untuk dikerdilkan oleh dikotomi “kami” dan “mereka”. Jika kita benar-benar ingin menghidupkan kembali peradaban Islam, maka mulailah dari ilmu—dan dari kerendahan hati untuk mengakui bahwa kebenaran bisa datang bukan hanya dari mazhab kita. Ingatlah, persatuan bukan berarti semua harus sama. Persatuan adalah ketika kita tahu cara berbeda tanpa saling merendahkan. Dan itulah yang dicita-citakan Al-Qur’an.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu. (QS. al-Ḥujurāt: 10)

Maka, mari kita kembali kepada semangat ukhuwah dan keilmuan. Mari kita jadikan ilmu sebagai cahaya yang menerangi ruang-ruang dialog. Karena hanya dalam cahaya ilmu dan kedewasaan, perbedaan tidak akan membelah, tetapi menyatukan.
ADVERTISEMENT
Pasang Iklan ?Klik Disini