NEW POST

Dinamika Masjid Kontemporer : Antara Taqwa yang Menyusut dan Inklusivitas yang Terabaikan

 

Masjid hari ini berdiri megah di berbagai sudut peradaban. Kubah menjulang, ornamen menawan, fasilitas digital tersedia. Dari luar, ia tampak sempurna—lambang kejayaan agama dan kebanggaan. Namun, di balik keindahan fisik itu, muncul pertanyaan hakiki :
Apakah masjid masih dibangun atas dasar taqwa, atau sudah menjadi monumen gengsi dan simbol status sosial ?
Apakah masjid masih menjadi tempat sujud jiwa-jiwa yang mencari Tuhan, atau ruang eksklusif bagi yang merasa sudah suci ?
Penting untuk kembali pada definisi Al-Qur’an :

 لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ  

“Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak hari pertama, itulah yang lebih layak engkau gunakan untuk salat.”  (QS. At-Taubah: 108)

Taqwa—kesadaran yang tulus akan Allah—seharusnya menjadi fondasi pertama. Tanpa itu, masjid hanya megah di struktur, tapi rapuh dalam fungsi. Maka yang terjadi bukan pemakmuran ruhani, melainkan pelestarian arsitektur.

Realita Sosial : Ketika Inklusivitas Menjadi Tantangan

Bukan rahasia bahwa dalam praktiknya, ada masjid yang belum sepenuhnya membuka diri. Anak-anak kecil yang datang justru dianggap mengganggu. Mualaf yang ingin belajar belum mendapat ruang bimbingan yang sistematis. Orang-orang yang baru “belajar kembali” merasa canggung, seolah masjid hanya untuk yang sudah paham, bukan tempat pembinaan.

 إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ  

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal perbuatan kalian.”   (HR. Muslim)

Jika masjid menilai dari penampilan, maka hakikat ibadah menjadi kabur. Jika pengurus lebih sibuk menjaga karpet tetap rapi daripada membina hati yang datang dengan harapan, maka perlu direnungkan kembali : Apakah yang sedang dipelihara adalah rumah Allah, atau standar estetika manusia ?

Sejarah yang Bicara : Masjid Sebagai Pusat Peradaban

Di masa lalu, masjid tak hanya menjadi tempat salat. Ia adalah pusat pendidikan, dialog, dan inovasi.

Di Masjid Nabawi, Rasulullah ﷺ membuka ruang untuk semua : budak, bangsawan, mualaf, wanita, anak-anak. Mereka tumbuh bersama dalam satu barisan. Masjid seperti Al-Qarawiyyin, Al-Azhar, dan Zaituna menjadi institusi intelektual dunia, berawal dari ruang ibadah yang inklusif.

Semua itu tak tercapai dengan marmer atau megafon—tetapi dengan taqwa dan keterbukaan.

 إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  

"Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”  (QS. At-Taubah: 18)

Refleksi Kritis dan Ajakan Perubahan

Masjid seharusnya menjadi oase ruhani. Tempat anak-anak belajar adab, bukan diusir karena suara mereka. Tempat pencari ilmu disambut dengan bimbingan, bukan dengan tatapan penilaian. Tempat yang ramah bagi siapa pun yang ingin mengenal Allah lebih dekat.

Pengurus masjid memegang kunci gerbang ini. Maka refleksi dibutuhkan :
Apakah kita menjaga masjid untuk Allah, atau untuk reputasi komunitas ?
Apakah kita membuka ruang dakwah, atau justru mengunci pintu karena takut "gangguan" ?
Masjid bukan ruang steril, tapi ruang tumbuh.  Ia bukan milik yang sudah paham agama, melainkan rumah bagi siapa pun yang mencari cahaya.

Kesimpulannya, tantangan masjid kontemporer bukan pada bentuknya, tetapi pada fungsinya.  Dibutuhkan evaluasi, pembaruan pendekatan, dan peneguhan kembali bahwa masjid adalah pusat taqwa dan inklusivitas. Hanya dengan itu, masjid bisa kembali menjadi mercusuar peradaban, bukan sekadar struktur indah.
“Masjid bukan hanya tempat sujud. Ia adalah tempat umat tumbuh, bersatu, dan kembali kepada Tuhan.”
ADVERTISEMENT
Pasang Iklan ?Klik Disini