NEW POST

Kecerdasan Buatan dan Etika Islam : Apa Tantangannya ?

Pada suatu titik dalam sejarah manusia, muncullah teknologi yang bukan hanya mempermudah pekerjaan, melainkan juga mampu berpikir, menimbang, dan membuat keputusan. Ia tidak berjiwa, tidak bernyawa, namun diberi kuasa untuk meniru akal, bahkan kadang terasa lebih cepat dan lebih tepat. Kecerdasan Buatan—atau yang disebut sebagai Artificial Intelligence (AI)—tidak lagi sekadar fantasi sains, melainkan kenyataan yang menyentuh ruang kehidupan: dari ruang operasi, ruang sidang, hingga ruang ibadah.

Tetapi apakah dunia akan tetap seimbang ketika mesin mengambil alih peran-peran manusia? Apakah nilai-nilai luhur akan tetap terjaga ketika keputusan moral dibuat oleh sistem algoritma? Etika Islam tidak diam dalam menyaksikan perubahan ini. Dalam ajaran Islam, setiap tindakan selalu dikembalikan kepada nilai: apakah adil, apakah bermanfaat, apakah melanggar, ataukah memelihara ?

Tanggung jawab adalah ruh dari peradaban yang beradab. Ketika sebuah sistem cerdas memberikan keputusan yang salah—seorang pasien diberikan obat yang keliru, seorang terdakwa dihukum oleh kesalahan deteksi wajah—maka muncul pertanyaan yang tak mudah dijawab: kepada siapa pertanggungjawaban harus diberikan ? Tidak ada tempat dalam syariat bagi entitas yang tidak berakal untuk memikul beban dosa atau pahala. Al-Qur’an dengan tegas menyampaikan :

وَكُلَّ إِنسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ ۖ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا

"Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagai sesuatu yang melekat) pada lehernya; dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka." (QS. Al-Isrā’: 13)

Tak akan ada pembuat sistem yang bisa lepas dari tanggung jawab moral atas ciptaannya. Dalam pandangan Islam, penciptaan alat yang mampu memengaruhi hidup orang lain adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Bila manusia menciptakan sesuatu yang menyerupai dirinya sendiri—yang berbicara seperti manusia, bergerak seperti manusia, bahkan memiliki ekspresi empatik seperti manusia—maka di situlah wilayah etis mulai diguncang. Tidak semua yang mampu dilakukan layak untuk dilakukan. Dalam hadis sahih, Rasulullah ﷺ memperingatkan :

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ

"Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan Allah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Meniru ciptaan Tuhan bukan sekadar perkara bentuk, tetapi menyentuh wilayah esensial tentang otoritas ilahi dalam menciptakan makhluk yang berpikir dan merasa. Maka, menciptakan kecerdasan yang meniru kesadaran, tanpa ruh dan tanpa taklif, bisa menjadi bentuk kesombongan teknologi yang mengabaikan batas langit.

Apakah keadilan masih mungkin dijaga oleh algoritma yang disusun manusia ? Di balik AI terdapat data, dan data adalah cermin dari dunia yang tidak sempurna. Bila dunia menyimpan bias, maka algoritma pun mewarisi bias. Maka, ketika sistem cerdas digunakan untuk memutus nasib orang—dalam rekrutmen kerja, dalam vonis hukum, atau dalam distribusi bantuan—maka bayang-bayang ketidakadilan tak dapat disingkirkan begitu saja. Sedangkan Islam berdiri di atas tiang keadilan yang tidak boleh goyah. Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ 

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah kebencian suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Mā’idah: 8)

Ketika sistem menggantikan tangan manusia di tempat kerja, muncul pula luka dalam keadilan sosial. Tidak semua orang memiliki akses untuk beradaptasi dengan teknologi. Jika pekerjaan diambil alih oleh mesin, lalu kepada siapa rezeki akan dialirkan ? Dalam Islam, bekerja bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap martabat manusia. Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menulis bahwa manusia yang berusaha mencari nafkah untuk keluarganya, maka usahanya itu bernilai ibadah. Maka, penghapusan peran manusia demi efisiensi tidak boleh mengabaikan keadilan dan kemaslahatan bersama.

Ketika kecerdasan buatan mulai berbicara tentang agama, mengajarkan tafsir, bahkan menjawab pertanyaan hukum fikih, apakah makna ibadah masih tersisa ? Mampukah mesin memahami niat, khusyuk, dan taqarrub yang menjadi ruh ibadah? Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat tidak dapat dihasilkan oleh chip atau sensor. Maka, AI hanya mungkin menjadi pembantu ibadah, bukan pelaksana spiritualitas. Ketika suara buatan menggantikan bacaan imam, atau jawaban otomatis menggantikan ulama, maka substansi agama mulai terkikis.

Adakah ruang untuk menjaga privasi ketika kamera tersembunyi dan data diam-diam dikumpulkan atas nama keamanan dan kemajuan ? Di tengah gempuran sistem pengawasan canggih, Islam berbicara dengan suara jernih tentang larangan mencampuri urusan orang tanpa izin. Dalam Al-Qur’an disebutkan :

وَلَا تَجَسَّسُوا

"Dan janganlah kamu memata-matai." (QS. Al-Ḥujurāt: 12)

Teknologi pengawasan yang melanggar batas pribadi adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yang dilindungi oleh syariat. Kemaslahatan tidak boleh meniadakan kehormatan individu. Dalam menghadapi semua dilema ini, Islam menawarkan alat ukur yang kokoh: prinsip maslahah dan mafsadah. Bila suatu inovasi mendatangkan kebaikan yang jelas dan menghindari kerusakan yang nyata, maka ia dapat diterima. Tetapi jika mudaratnya lebih besar dari manfaatnya, maka ia harus dicegah. Imam al-Shatibi dalam Al-Muwāfaqāt menjelaskan bahwa syariat Islam diturunkan untuk menjaga lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka, kecerdasan buatan wajib tunduk pada misi penjagaan lima aspek ini, bukan sebaliknya.

Fatwa tidak mungkin stagnan di tengah zaman yang terus berubah. Diperlukan ijtihād jamā‘ī—ijtihad kolektif—yang menghimpun suara para fuqaha, ilmuwan teknologi, dan pemikir etika untuk menimbang langkah. Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya dialog antara agama dan ilmu pengetahuan agar hukum Islam tetap relevan tanpa kehilangan ruhnya.

Kecerdasan buatan adalah tantangan sekaligus peluang. Bukan untuk ditolak, tetapi untuk ditata. Bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dikawal. Islam tidak mengingkari perubahan, tetapi menuntut bahwa perubahan tidak boleh mengorbankan kemanusiaan. Maka ketika tangan-tangan mesin mulai menggenggam kendali, suara wahyu harus tetap dijadikan cahaya. Agar kemajuan tak kehilangan arah. Agar masa depan tetap berpijak pada nilai. Agar teknologi menjadi pelayan kemuliaan, bukan penghapus martabat.
ADVERTISEMENT
Pasang Iklan ?Klik Disini